Jumat, 07 April 2017

Cerpen Pemalu yang berteduh


Pemalu yang Berteduh
Anggi Anggraini

Jika kehidupan ini seumpama rel kereta api, maka pengalaman-pengalaman yang mengepur kita terus menerus seperti berlari melesat-lesat bagai deburan cahaya dari masa ke masa. Beberapa windu silam, jalan itu masih lengang. Terasa betul, tanah liat hitam menjulur di kegelapan malam, diantara genangan air hujan sisa tadi siang yang membasuhi debu-debu liar jalanan, memantulkan sinar obor yang bergantung jarang. Batu batas antara kedua belah sungai yang semulanya bening kini mulai coklat kehitaman. Dengan jalan yang berkerikil tajam menusuk kaki mungil ku saat itu. Semulanya nampak remang-remang lampu obor yang kupegang yang mencekam naungan pohon-pohon bambu berkelebat diantara taman bebatuan yang sekilas terlihat sepih tapi ramai berpenghuni. Seketika itu, obor yang menerangi jalanku, dilanda angin yang bertiup sangat kencang, seutas kawat terentang diantara bebatuan panjang mulai terkoyak, menari-nari bersama dedaunan yang kusut menghitam, berkesiur gemeresik air.... kulirik jam ku… ah… masih ramai hanya saja bulu kudukku merinding..hhahha
Kuterus menapaki lorong kesunyian ini, sambil mengerutu tapi tak ada yang bisa aku lakukan, aku rasa mati kutu bukan kutu buku. Tak sadarkah mereka jika tak ada yang harus diperdebatkan, semuanya jelas. Namun, mereka tak melihatku seketika itu. Mereka tak melihat ada bagian-bagian yang tak terlihat di tubuhku ini yang terasa patah saat itu. Ingin rasanya kulepas segala cemas pada deburan ombak di samudera lepas hingga hatiku kan terbebas lepas, tapi ah…. Tetap saja harus kututup manis dengan senyuman dan berlisan kuikhlaskan. Sudahlah, nasibku yang murung.
“Assalamualaikum guk, nek syifa pulang” (sapa remaja yang akrab dipanggil syifa itu)
“Walaikum salam, masuklah fa. Sudah makan?” (jawab wanita tua yang sedang menjahit bajunya yang lusuh)
“Sudah nek, seperti biasa ibu manis yang di perempatan jalan itu. Yang berkerudung merah sok akrab itu.” Jawab syifa agak ketus.
Dua sejoli itu hanya tersenyum melihat tingkah cucu kesayangan mereka.
“Nenek dan puguk sudah makan?“
“Serentak dua sejoli itu menjawab alhamdulillah, Sudah.”
Syifa tertawa mendengar jawaban kedua sejoli didepan matanya yang selalu kompak meskipun sudah sama-sama tak dapat melihat secara jelas lagi.
Guk, tadi obor syifa mati di jalan atau karena anginnya kencang? Atau hanya perasaan syifa saja? (tanyanya keherannan)
“Lelaki tua itupun tertawa terbahak-bahak” haha… syifa, syifa, setiap kali kau pulang dari ngaji pertanyaanmu selalu saja sama tentang “obor” tidakkah kau tadi lari nak sehingga obornya mati? Atau..em... sayang, sayang”
Dalam rebah angan, tiba-tiba menggugah bayang namun kulihat cahaya itu sedikit terang setelah melewati berwindu-windu hujan lamanya. Mengelitik memang tapi membuatku menggigil berkepanjangan. Membuatku diam dan terpasung dalam kesedihan. Maaf mak, aku takkan pernah bisa hadir jumpaimu di ujung temu, tapi doaku selalu untukmu. Cukuplah kurangkul harap agar bisa memiliki segenap jiwamu. Ku tau kau hadir disana, tersenyum untukku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar