Pemalu yang Berteduh
Anggi Anggraini
Jika kehidupan ini
seumpama rel kereta api, maka pengalaman-pengalaman yang mengepur kita terus
menerus seperti berlari melesat-lesat bagai deburan cahaya dari masa ke masa. Beberapa
windu silam, jalan itu masih lengang. Terasa betul, tanah liat hitam menjulur
di kegelapan malam, diantara genangan air hujan sisa tadi siang yang membasuhi
debu-debu liar jalanan, memantulkan sinar obor yang bergantung jarang. Batu
batas antara kedua belah sungai yang semulanya bening kini mulai coklat
kehitaman. Dengan jalan yang berkerikil tajam menusuk kaki mungil ku saat itu.
Semulanya nampak remang-remang lampu obor yang kupegang yang mencekam naungan
pohon-pohon bambu berkelebat diantara taman bebatuan yang sekilas terlihat sepih
tapi ramai berpenghuni. Seketika itu, obor yang menerangi jalanku, dilanda
angin yang bertiup sangat kencang, seutas kawat terentang diantara bebatuan
panjang mulai terkoyak, menari-nari bersama dedaunan yang kusut menghitam,
berkesiur gemeresik air.... kulirik jam ku… ah… masih ramai hanya saja bulu
kudukku merinding..hhahha
Kuterus menapaki
lorong kesunyian ini, sambil mengerutu tapi tak ada yang bisa aku lakukan, aku
rasa mati kutu bukan kutu buku. Tak sadarkah mereka jika tak ada yang harus diperdebatkan,
semuanya jelas. Namun, mereka tak melihatku seketika itu. Mereka tak melihat
ada bagian-bagian yang tak terlihat di tubuhku ini yang terasa patah saat itu. Ingin
rasanya kulepas segala cemas pada deburan ombak di samudera lepas hingga hatiku
kan terbebas lepas, tapi ah…. Tetap saja harus kututup manis dengan senyuman
dan berlisan kuikhlaskan. Sudahlah, nasibku yang murung.
“Assalamualaikum guk, nek syifa pulang” (sapa remaja yang
akrab dipanggil syifa itu)
“Walaikum salam, masuklah fa. Sudah makan?” (jawab wanita tua
yang sedang menjahit bajunya yang lusuh)
“Sudah nek, seperti biasa ibu manis yang di
perempatan jalan itu. Yang berkerudung merah sok akrab itu.” Jawab syifa agak ketus.
Dua sejoli itu hanya
tersenyum melihat tingkah cucu kesayangan mereka.
“Nenek dan puguk sudah makan?“
“Serentak dua sejoli itu menjawab alhamdulillah,
Sudah.”
Syifa tertawa mendengar jawaban kedua sejoli
didepan matanya yang selalu kompak meskipun sudah sama-sama tak dapat melihat
secara jelas lagi.
Guk, tadi obor syifa mati di jalan atau karena
anginnya kencang? Atau hanya perasaan syifa saja? (tanyanya keherannan)
“Lelaki tua itupun tertawa terbahak-bahak” haha…
syifa, syifa, setiap kali kau pulang dari ngaji pertanyaanmu selalu saja sama
tentang “obor” tidakkah kau tadi lari nak sehingga obornya mati? Atau..em...
sayang, sayang”
Dalam rebah angan,
tiba-tiba menggugah bayang namun kulihat cahaya itu sedikit terang setelah
melewati berwindu-windu hujan lamanya. Mengelitik memang tapi membuatku
menggigil berkepanjangan. Membuatku diam dan terpasung dalam kesedihan. Maaf
mak, aku takkan pernah bisa hadir jumpaimu di ujung temu, tapi doaku selalu
untukmu. Cukuplah kurangkul harap agar bisa memiliki segenap jiwamu. Ku tau kau
hadir disana, tersenyum untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar