Senin, 10 April 2017

Cerpen


Wanita itu, Merebak Seluruh Penjuru
Karya Anggi Anggraini
Desa Prambatan, sekilas mendengar namanya biasa saja seperti kebanyakan nama desa lainnya. Namun siapa sangka, bahwa ada banyak cerita yang tersirat dibalik nama desa ini. Ya, Prambatan. Yang asal mulanya berasal dari kata rambat. Karena pada zaman dulu, jauh sebelum Indonesia merdeka, daerah ini hanyalah hutan belantara di Pedalaman Pulau Sumatera. Semulanya daerah ini hanya ada seorang cendikiawan yang dijuluki sebagai Puyang dan membangun pondok kecil sebagai tempat persembunyian dari Tentara Belanda di masa penjajahan. Kemudian satu persatu rumah mulai tumbuh bagai jamur di musim hujan. Merambat kemana-mana membelah hutan belantara dengan rumah-rumah kaca dan lantai betonnya. Dan sekarang. hutan-hutan telah dicabik-cabik oleh alat berat yang menjadikannya lahan sawit. Udara-udara telah dikoyak oleh asap tebal pabrik batu hitam penyalur listrik sebagai bentuk generalisasi era modern dan menyebabkan ketamakan bagi umat manusia.
Langkah kakiku setapak demi setapak melewati aspal jalanan dan mencuri udara segar pagi ini ditanah kelahiranku sendiri. Meski matahari belum menampakkan wajahnya, ku dengar ada suara motor yang berpapasan denganku karena masih gelap, hanya terlihat dua orang yang memakai baju dengan bekas getah, tas sandang merk beras cap burung rangkong dan bak getah di belakangnya tersenyum padaku dan saat kulihat, tak lain dan tak bukan mereka adalah mang dolah adik ayahku dan istrinya bik imah. Mereka menghentikan laju motornya.
Pagi pak, jogging terus caknye? “Sapa lelaki itu sambil tertawa”.
Ao mang, biasolah ngirup udara segar pagian ni eluk untuk paru-paru. nateng mang? (aku balik bertanya)
Ao kan ay, jadilah besejo. Ngekuk balam ari pengujan mikek. Kalu bae agek getah nak mahal. Jadi mamang dengan bibik e nih pacak kalangan meli ikan teri beh jadilah. (jawab lelaki itu dengan lantang )
Ay ao, dikit tulah mang besejo nih aman lah banyak pulek laen lagi ceritenye. (jawabku dengan nada lembut)
Ao molenye, ay lah bujang nian nakan ku ikak. Payo pegi dulu pak komandan, siang ari agek dak begetah lagi aman lah siang igek.
Ao mang…(Aku selalu tersenyum saat adik dari ayahku ini selalu memanggilku dengan sebutan itu. Karena memang seluruh masyarakat desa ini pun tau, bahwa setelah lulus SMA aku akan meneruskan perjuangan ayahku menjadi seorang tentara yang menegakkan keadilan dan kedamaian negeri ini. Itulah sebabnya sejak kecil aku selalu rajin olahraga dan latihan fisik sampai sekarang).
Bibirku terasa beku dan tubuhku terasa gemetar setiap kali aku melewati pemakaman desaku. Dari kejauhan terlihat samar-samar nama nisan hitam mengkilap yang tak asing bagiku. Beberapa tahun silam, saat aku baru berusia 6 tahun, kami dikejutkan dengan kabar kepulangan ayahku. Ayahku, seorang tentara berpangkat panglima, tiba-tiba pulang dengan keadaan kaku dan hanya membawa nama. Ya, saat itu kriminalitas merajalela di negeri ini yang menyebabkan perpecahan antarbangsa. Meski kejadian ini sangat memukul keluarga kami, sampai detik ini tidak ada penjelasan yang pasti dari pemerintah maupun dunia kemiliteran tentang ayahku. Yang datang hanyalah tubuh kaku ayahku dibalik kain putih itu.  Aku masih ingat betul, kenangan wajah ayah saat ayah masih bermain bersamaku dan saat mengantar dinas terakhirnya dan sepucuk surat dari kemiliteran.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Untuk istriku tercinta, aku sangat berharap kalian tidak akan pernah menerima surat ini. Maaf, keadaan memaksa kalian harus membaca dan mendengar kabar kepulanganku dalam keadaan seperti ini. Istriku, kau tau betul, sepak terjangku telah berlenggang di jalan raya negeri ini. Namun, tombak pencarian merah putihku telah merobek naluriku. Saat ku tembak liar pemburu itu, kukira ambisinya akan lemas. Tapi dugaanku ternyata salah, ia malah terbebas lepas dan memusnahkan seragamku. Perlahan-lahan tikus-tikus jalanan mulai mendayuh-dayuh merogoh kocek semutku. Aku tidak bisa tinggal diam meski tanpa perlindungan seragamku, aku tetap memimpin anggotaku. Aku akan memburu dan menembak mati tikus itu.
Dan untuk anakku tersayang Ricky, maafkan ayah nak jika tidak bisa menghabiskan waktu untukmu dan ibumu. jadilah anak sholeh dan tolong lindungi ibumu nak
Maaf jika kepulangan ayah hanya membawa nama.
Tubuhku terasa berkali-kali, saat membaca surat itu. Tapi ada seseorang yang lebih sakit lagi dibanding aku, dia ibuku. Dia tetap tegar dan tersenyum membesarkanku meski berperan sebagai ayah dan sebagai ibu untukku. Ah sudahlah pikirku, semua itu hanya masa lalu. Sesampainya di rumah.
Assalamualikum emak (Terlihat seorang wanita sedang memasak)
Walaikum salam nak, alangkeh lamenye jogging lah siang ari nih malah lah nak dzuhur denga empai balek. Jangan terlalu neman igek jogging ni, diam diumah bae. (yaaa beginilah memang sikap ibuku selalu ngoceh-ngoceh saat aku jogging, bilangnya dzuhur padahal kan baru jam setengah delapan)
Payo sarapanlah, dem tu mandilah.
Ao mak.
Sebenarnya tatapan ibuku adalah kelemahanku dalam menggapai cita-citaku. Meski aku telah mendengar dukungan dari seluruh masyarakat desa ini, sampai sekarang aku masih belum mendengar sepatah dua kata dukungan dari ibuku. Setiap kali membicarakan setelah lulus SMA aku akan kemana, ia hanya diam dan mengurung diri di kamar. Dan karena itulah, kau menghindari membicarakan topik ini. Aku tau dia sangat terluka dengan kejadian dua belas tahun silam, namun ini adalah caraku mewujudkan keinginan almarhum ayah untuk melindungi ibuku.
Behubung hari ini adalah hari ahad, setelah selesai sarapan seperti biasanya aku selalu membersihkan rumah dan mengambil alih pekerjaan rumah seperti mencuci piring, mencuci baju, mengepel, menyapu dan lain-lain. Yaaa… walaupun aku sering dibilang bujang umah, tapi tidak masalah buatku karena aku tidak tega jika menatap wajah ibuku, rasanya sudah cukup beban yang harus dideritanya selama ini. Setelah selesai mengerjakan semuanya, akupun mengambil gitar yang kupinjam dari temanku dan menyanyikan di teras rumah.
Saat lulus SMA dan setelah sewindu lamanya aku menunggu, jawabannya singkat saja, “Ky, kau tau betul nak. Beberapa windu yang lalu bagaimana penderitaan ibumu ini setelah kehilangan ayahmu nak. Rasanya ibu juga berkali-kali mati saat melihat seragam ayahmu yang ditergantung di lemari ibu, ibu juga terasa sesak saat membaca sepucuk surat mendiang ayahmu. Lantas, inikah caramu untuk melindungi ibu? Dengan pergi menjauh dari? Pada akhirnya kau pun akan sama pergi dinas jauh dari ibu. Tidak ada orang tua yang tidak mau anaknya sukses, tapi nak kau anak ibu satu-satunya. Mengabdilah pada negeri tapi tidak harus menjauh dari ibu.
Aku merasa seperti disambar petir setelah mendengar jawaban ibu. Mungkin karena ini yang membungkamnya agar ia tidak akan sakit seperti ini. Deksripsiku yang ingin melindunginya dengan seragam itu, nyatanya telah menancapkan luka yang sama. Aku hanya egois jika berpikir ingin menggantikan posisi almarhum ayah. Dan lihat wanita itu, ia memang keras seperti batu tapi hatinya mengalir seperti air yang menghilangkan dahaga. Dengan berlinangan air mata kupeluk erat ibuku.

Jumat, 07 April 2017

Puisi Tinta Permata

Tinta Permata 
Karya Anggi Anggraini

Sepak terjangku
berlenggang di jalan raya
suara tikus mendayu-dayu
merogoh kocek semutku
membuat jeritan semutku tak terdengar.
Tombak pencarian keadilan merah putihku
telah merobek naluriku.
Mencambuk semutku.
Ku tembak liar pemburu itu
tapi ia terbebas lepas
memusnahkan seragamku
dan membungkam semutku.
Gagah  tubuhku
Terasa mati karena sembilu.
Wanita itu,
Merebak seluruh penjuru
Mengalir seperti air.
Keras seperti batu.
Biarlah peluh membasahi pipi ku. 

Cerpen Pemalu yang berteduh


Pemalu yang Berteduh
Anggi Anggraini

Jika kehidupan ini seumpama rel kereta api, maka pengalaman-pengalaman yang mengepur kita terus menerus seperti berlari melesat-lesat bagai deburan cahaya dari masa ke masa. Beberapa windu silam, jalan itu masih lengang. Terasa betul, tanah liat hitam menjulur di kegelapan malam, diantara genangan air hujan sisa tadi siang yang membasuhi debu-debu liar jalanan, memantulkan sinar obor yang bergantung jarang. Batu batas antara kedua belah sungai yang semulanya bening kini mulai coklat kehitaman. Dengan jalan yang berkerikil tajam menusuk kaki mungil ku saat itu. Semulanya nampak remang-remang lampu obor yang kupegang yang mencekam naungan pohon-pohon bambu berkelebat diantara taman bebatuan yang sekilas terlihat sepih tapi ramai berpenghuni. Seketika itu, obor yang menerangi jalanku, dilanda angin yang bertiup sangat kencang, seutas kawat terentang diantara bebatuan panjang mulai terkoyak, menari-nari bersama dedaunan yang kusut menghitam, berkesiur gemeresik air.... kulirik jam ku… ah… masih ramai hanya saja bulu kudukku merinding..hhahha
Kuterus menapaki lorong kesunyian ini, sambil mengerutu tapi tak ada yang bisa aku lakukan, aku rasa mati kutu bukan kutu buku. Tak sadarkah mereka jika tak ada yang harus diperdebatkan, semuanya jelas. Namun, mereka tak melihatku seketika itu. Mereka tak melihat ada bagian-bagian yang tak terlihat di tubuhku ini yang terasa patah saat itu. Ingin rasanya kulepas segala cemas pada deburan ombak di samudera lepas hingga hatiku kan terbebas lepas, tapi ah…. Tetap saja harus kututup manis dengan senyuman dan berlisan kuikhlaskan. Sudahlah, nasibku yang murung.
“Assalamualaikum guk, nek syifa pulang” (sapa remaja yang akrab dipanggil syifa itu)
“Walaikum salam, masuklah fa. Sudah makan?” (jawab wanita tua yang sedang menjahit bajunya yang lusuh)
“Sudah nek, seperti biasa ibu manis yang di perempatan jalan itu. Yang berkerudung merah sok akrab itu.” Jawab syifa agak ketus.
Dua sejoli itu hanya tersenyum melihat tingkah cucu kesayangan mereka.
“Nenek dan puguk sudah makan?“
“Serentak dua sejoli itu menjawab alhamdulillah, Sudah.”
Syifa tertawa mendengar jawaban kedua sejoli didepan matanya yang selalu kompak meskipun sudah sama-sama tak dapat melihat secara jelas lagi.
Guk, tadi obor syifa mati di jalan atau karena anginnya kencang? Atau hanya perasaan syifa saja? (tanyanya keherannan)
“Lelaki tua itupun tertawa terbahak-bahak” haha… syifa, syifa, setiap kali kau pulang dari ngaji pertanyaanmu selalu saja sama tentang “obor” tidakkah kau tadi lari nak sehingga obornya mati? Atau..em... sayang, sayang”
Dalam rebah angan, tiba-tiba menggugah bayang namun kulihat cahaya itu sedikit terang setelah melewati berwindu-windu hujan lamanya. Mengelitik memang tapi membuatku menggigil berkepanjangan. Membuatku diam dan terpasung dalam kesedihan. Maaf mak, aku takkan pernah bisa hadir jumpaimu di ujung temu, tapi doaku selalu untukmu. Cukuplah kurangkul harap agar bisa memiliki segenap jiwamu. Ku tau kau hadir disana, tersenyum untukku.